Dalam pemakaian sebagian
besar masyarakat sehari-hari arti “kebudayaan” seringkali terbatas pada sesuatu
yang indah-indah, seperti misalnya candi, tarian, seni rupa, seni suara,
sastra, dan filsafat. Ralph Linton, seorang ahli antropologi dalam bukunya The Cultural Background of Personality,
mempunyai definisi yang berbeda antara definisi yang umum tersebut dengan definisi
seorang ahli antropologi sebagaimana disajikan pada uraian berikut (Ihromi,
1994; 18):
“Kebudayaan adalah seluruh cara kehidupan dari masyarakat yang manapun dan
tidak mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat
dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Dalam arti cara hidup itu
masyarakat kalau kebudayaan diterapkan pada cara hidup kita sendiri, maka tidak
ada sangkut pautnya dengan main piano atau membaca karya sastra terkenal. Untuk
seorang ahli ilmu sosial, kegiatan seperti main piano itu, merupakan
elemen-elemen belaka dalam keseluruhan kebudayaan kita. Keseluruhan ini
mencakup kegiatan-kegiatan duniawi seperti mencuci piring atau menyetir mobil
dan untuk tujuan mempelajari kebudayaan, hal ini sama derajatnya dengan “hal-hal
yang lebih halusdalam kehidupan”. Karena itu, bagi seorang ahli ilmu sosial
tidak ada masyarakat atau perorangan yang tidak berkebudayaan. Tiap masyarakat
mempunyai kebudayaan, bagaimanapun sederhananya kebudayaan itu dan setiap
manusia adalah makhluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian dalam suatu
kebudayaan.”
Penjelasan Liton di atas
menunjukkan bahwa kebudayaan ternyata memiliki berbagai aspek, yang meliputi
cara-cara berlaku, kepercayaan-kepercayaan, sikap-sikap, dan hasil dari kegiatan
manusia yang khas untuk suatu masyarakat atau kelompok penduduk tertentu.
Kebudayaan menurut ilmu
antropologi pada hakikatnya adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan
hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri
manusia dengan belajar (Koentjaraningrat, 1996; 72). Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena hanya
sebagian kecil dari tindakan manusia yang tidak dibiasakan dengan belajar
seperti naluri, refleks, atau tindakan yang dilakukan akibat suatu proses
fisiologis. Bahkan beberapa tindakan yang didasari atas naluri (seperti makan,
minum, dan berjalan) sudah dapat banyak dikembangkan manusia sehingga menjadi
suatu tindakan yang berkebudayaan.
Pada tahun 1950, A.L.
Kroeber dan Clyde Kluckhohn telah berhasil mengumpulkan lebih dari seratus definisi
(176 definisi) yang diterbitkan dalam buku mereka yang berjudul Culture: A Critical Review Of Concept And
Definitions (1952). Dari pencariannya itu mereka menemukan bahwa semua
definisi yang baru cenderung mengadakan perbedan yang jelas antara perilaku yang
nyata di satu pihak, dan pihak lain berupa nilai-nilai, kepercayan, dan
persepsi tentang jagat raya yang letaknya tidak dapat terlihat. Dengan demikian
kebudayaan juga menyangkut perilaku yang tidak kelihatan, yang merupakan
nilai-nilai dan kepercayaan yang digunakan manusia untuk menafsirkan pengalaman
dan menimbulkan perilaku yang terlihat. Oleh karena itu definisi kebudayaan
kemudian berkembang menjadi : “Seperangkat peraturan dan standar, yang apabila
dipenuhi oleh para anggota masyarakat, menghasilkan perilaku yang dianggap
layak dan diterima oleh para anggotanya (dalam Haviland, 1995; 332-334 dan
Koentjaraningrat, 1996; 73).
Kebudayaan nasional adalah
kebudayaan yang diakui sebagai identitas nasional. Definisi kebudayaan nasional
menurut TAP MPR No.II tahun 1998, yakni :
“Kebudayaan nasional yang berlandaskan Pancasila adalah perwujudan cipta,
karya dan karsa bangsa Indonesia dan merupakan keseluruhan daya upaya manusia Indonesia
untuk mengembangkan harkat dan martabat sebagai bangsa, serta diarahkan untuk
memberi wawasan dan makna pada pembangunan nasional dalam segenap bidang
kehidupan bangsa. Dengan demikian Pembangunan Nasional merupakan pembangunan
yang berbudaya”.
Kebudayaan Nasional dalam pandangan Ki
Hajar Dewantara adalah “Puncak-puncak
dari kebudayaan daerah.” Kutipan pernyataan ini merujuk pada paham kesatuan
makin dimatapkan, sehingga ketunggalikaan makin lebih dirasakan dari pada
kebhinekaan. Wujudnya berupa negara kesatuan, ekonomi nasional, hukum nasional,
serta bahasa nasional. Definisi yang diberikan oleh Koentjaraningrat dapat
dilihat dari pernyataannya: “Yang khas
dan bermutu dari suku bangsa mana pun asalnya, asal bisa mengidentifikasikan
diri dan menimbulkan rasa bangga, itulah kebudayaan nasional”. Pernyataan ini
merujuk pada puncak-puncak kebudayaan daerah dan kebudayaan suku bangsa yang
bisa menimbulkan rasa bangga bagi orang Indonesia jika ditampilkan untuk
mewakili identitas bersama.
Pernyataan yang tertera
pada GBHN tersebut merupakan penjabaran dari UUD 1945 Pasal 32. Dewasa ini tokoh-tokoh
kebudayaan Indonesia sedang mempersoalkan eksistensi kebudayaan daerah dan
kebudayaan nasional terkait dihapuskannya tiga kalimat penjelas pada Pasal 32
dan munculnya ayat yang baru. Mereka mempersoalkan adanya kemungkinan
perpecahan oleh kebudayaan daerah jika batasan mengenai kebudayaan nasional
tidak dijelaskan secara gamblang.
Sebelum di amandemen,
UUD 1945 menggunakan dua istilah untuk mengidentifikasi kebudayaan daerah dan
kebudayaan nasional. Kebudayaan bangsa, ialah kebudayaan-kebudayaan lama dan
asli yang terdapat sebagai puncak-puncak di daerah-daerah di seluruh Indonesia,
sedangkan kebudayaan nasional sendiri dipahami sebagai kebudayaan bangsa yang
sudah berada pada posisi yang memiliki makna bagi seluruh bangsa Indonesia. Dalam
kebudayaan nasional terdapat unsur pemersatu dari Bangsa Indonesia yang sudah
sadar dan mengalami persebaran secara nasional. Di dalamnya terdapat unsur
kebudayaan bangsa dan unsur kebudayaan asing, serta kreasi baru atau hasil
invensi nasional.
Kebudayaan daerah diartikan sebagai kebudayaan yang khas yang terdapat pada
wilayah tersebut. Kebudayaan daerah di Indonesia di Indonesia sangatlah beragam.
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan
daerah sama dengan konsep suku bangsa. Suatu kebudayaan tidak terlepas dari
pola kegiatan masyarakat. Keragaman budaya daerah bergantung pada faktor
geografis. Semakin besar wilayahnya, maka makin komplek perbedaan kebudayaan
satu dengan yang lain. Jika kita melihat dari ujung pulau Sumatera sampai ke
pulau Irian tercatat sekitar 300 suku bangsa dengan bahasa, adat-istiadat, dan
agama yang berbeda.
Konsep Suku Bangsa / Kebudayaan Daerah. Tiap kebudayaan yang hidup dalam
suatu masyarakat yang dapat berwujud sebagai komunitas desa, sebagai kota,
sebagai kelompok kekerabatan, atau kelompok adat yang lain, bisa menampilkan
suatu corak khas yang terutama terlihat orang luar yang bukan warga masyarakat
bersangkutan. Sebaliknya, terhadap kebudayaan tetangganya, ia dapat melihat
corak khasnya, terutama unsur-unsur yang berbeda menyolok dengan kebudayaannya
sendiri. Pola khas tersebut berupa wujud sistem sosial dan sistem kebendaan.
Pola khas dari suatu kebudayaan bisa tampil karena kebudayaan itu menghasilkan
suatu unsur yang kecil berupa berupa suatu unsur kebudayaan fisik dengan bentuk
yang khusus yang tidak terdapat pada kebudayaan lain.
Indonesia memiliki banyak suku bangsa dengan perbedaan-perbedaan kebudayaan, yang tercermin pada pola dan gaya hidup masing-masing. Menurut Clifford Geertz, di Indonesia terdapat 300 suku bangsa dan menggunakan kurang lebih 250 bahasa daerah. Akan tetapi apabila ditelusuri, maka sesungguhnya berasal dari rumpun bahasa Melayu Austronesia.
Menurut Koentharaningrat
(1996; 80). Dalam menganalisa suatu kebudayaan, seorang ahli antropologi
membagi seluruh kebudayaan yang sudah terintegrasi ke dalam unsur-unsur besar
yang disebut “unsur-unsur kebudayaan universal”. Kluckhohn (dalam Koentharaningrat,
1996; 80-81), menemukan bahwa terdapat tujuh unsur kebudayaan yang dapat
ditemukan pada semua bangsa di dunia yang disebut sebagai isi pokok dari setiap
kebudayaan, yaitu :
1.
Bahasa
2. Sistem organisasi
3. Organisasi sosial
4. Sistem peralatan hidup dan teknologi
5. Sistemmata pencaharian hidup
6. Sistem religi
7.
Kesenian
Referensi :